Langsung ke konten utama

WHO IS HE "HAJI SALAHUDDIN"

SEKAPUR SIRIH
Situasi Negara Republik Indonesia
Kedatangan Bangsa Inggris, Portugis, Spanyol, dan Belanda ke Indonesia, di samping sebagai penjajah, adalah sekaligus merupakan pembawa “Missi dan Zending” yang membawa serta peradaban Barat.

Peradaban Barat itu mempunyai ciri politis “Scularisme” dan ciri Ekonomi “Liberalisme” proses pembaratan “Westernisasi” ini turut pula mempengaruhi perkembangan masyarakat dan Negara Republik Indonesia, yang oleh kolonial Belanda dengan penjajahan di bumi Indonesia selama 350 tahun, ditanamkan dengan penuh kelicikan, bahkan dipaksa dengan senjata terhunus.

Namun, arus gelombang perang kemerdekaan dari bangsa-bangsa di dunia, khususnya di dunia islam, yang sejak abad kedelapan belas dilanda banjir kolonialisme dan imperialisme sekaligus telah melanda bangsa-bangsa Asia Afrika, telah membuat perubahan yang radikal terhadap jalannya sejarah dunia yang diilhami aspirasi dan potensi perjuangan Islam pada bangsa-bangsa tersebut. Pada abad-abad berikutnya sampai sekarang, segala tenaga, biaya, dan perhatian dikerahkan untuk membebaskan diri dari perhambaan Barat itu.

Tidak terkecuali Bangsa Indonesia. Ia ingin lepas dari rantai belengguh penjajah, ingin mempunyai kedaulatan sendiri sebagaimana bangsa-bangsa lain. Di tengah bahana perjuangan itu, terdengar suara gemuruh, laksana halilintar di tengah malam gelap gulita. Suara yang terdengar itu adalah “Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia” yang diucapkan Proklamator Dwi Tunggal Soekarno dan Hatta di Pegangsaan Timur 56, Jakarta tanggal 17 Agustus 1945.

Akan tetapi, karena keserahkan penjajah yang ingin kembali menguasai Nusantara dengan missi dan zedingnya, tentara sekutu (Inggris), di bawah pimpinan Letnan Jendral Sir Philip Christison, Panglima Besar AFNEI “Allied Forces Netherlands East Indies”, yang terdiri atas tiga Devisi, dengan membonceng bala tentara Belanda di belakang, mendarat di Jakarta tanggal 29 September 1945.

Karena tekad dari segenap rakyat Indonesia yang tak mau di jajah oleh Bangsa manapun maka di mana-mana berkecamuklah kembali peperangan rakyat Indonesia dengan penjajah, terkenalah pertempuran lima hari di Semarang, di Siantar Hotel, dan di Padang, 15 Oktober 1945. pertempuran kota Baru Yogyakarta 7 Oktober 1945, pertempuran 10 November 1945 selama 15 hari berturut-turut di Surabaya.

Berkat kebulatan tekad itulah, segenap rakyat dan Bangsa Indonesia berjuang tampa pamrih. Apapun yang terjadi, dan apapun yang akan diberikan kepada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 wajib di sumbangkan. Proklamasi 17 Agustus harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan, berupa satu tuntutan mutlak “Kedaulatan Rakyat” harus diserahkan sepenuhnya kepada bangsa Indonesia sebagai pemilik dan penguasa tunggal di negeri yang permai nan kaya raya ini.

Sebelum proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia di umumkan, telah muncul reformasi dan modernisasi dalam tata kehidupan umat Islam serta gerakan perjuangannya, ditandai dengan munculnya Serikat Dagang Islam (SDI) tahun 1908, Muhammadiyah 18 November 1912, Al Jamiatul Wasliyah 30 November 1930, Persatuan Umat Islam (PUI) tahun 1917, Persatuan Islam (Persis) tahun 1923, dan lain-lain.

Upaya ”Come Back” Belanda
Pada 10 Desember 1944, Pimpinan SWPA (South West Pacific Area, Komando Sekutu untuk Kawasan Pasifik Barat Daya), Jenderal Douglas MacArthur, dan Menteri Urusan Daerah Seberang Belanda Dr. H.J. Van Mook menandatangani Civil Affairs Agreement. Isi kesepakatan ini menetapkan bahwa pelaksanaan pemerintahan sipil dan peradilan atas seluruh Wilayah Hindia Belanda yang masuk ke dalam kewenangan Komando SWPA akan diserahkan kepada Nederland Indie.

Pada 24 Agustus 1945, pemerintah Nederland Indie di Brisbane, Australia, membuat perjanjian dengan pihak sekutu yang mengizinkan Belanda untuk menjalankan kekuasaan sipil di Indonesia, sekalipun kekuasaan tertinggi di Indonesia berada dalam tanggung jawab pasukan sekutu untuk kawasan Asian Selatan di bawah komando Inggris yang bermarkas di singgapura.

Ketika proklamasi indonesia di umumkan, Van Mook masih berada di Australia. Ia didampingi tenaga-tenaga sipil dan militer, seperti Van Der Plas (mantan Gubernur Jawa Timur), Kolonel Abdul Kadir Wijoyoatmojo, Kolonel Simon Spoor (kelak menjabat Panglima KNIL), Graaf Van Bijland, serta lainnya. Setelah mendengar berita proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Van Mook mengirim telegram kepada Menteri Urusan Daerah Seberang, Prof. Logeman, yang antara lain berbunyi :

“Menunjuk berita sangat rahasia yang telah saya kirimkan kepada anda dan pemerintahan Australia, rencana pendudukan beberapa wilayah Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda akan dilakukan sebagai berikut : Jawa dan Selatan Oleh Komando Asia Selatan. Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku akan di Tunjuk Australia, karena pasukan Australia terdapat di daerah-daerah tersebut. Halmahera dan Sulawesi akan dibantu Amerika Serikat, karena Amerika mempunyai satu Devisi Negro 93 yang ditempatkan di Morotai”.
Atas dasar inilah Belanda membentuk NICA yang akan beroprasi di Wilayah Indonesia. Sementara Van Mook telah melengkapi kabinetnya untuk menjalankan kekuasaannya di Indonesia.

Situasi Maluku Utara Pasca Proklamasi Kemerdekaan
Pada januari 1942, pesawat-pesawat Jepang untuk pertama kalinya melakukan pemboman atas pulau Ternate. Menghadapi aksi ini, Asisten Residen dan Komandan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) di Ternate memerintahkan para pegawai sipil serta warga keturunan Belanda mendaftarkan diri untuk dilatih tenagah pertahanan sipil. Pada 6 April 1942, tentara Jepang melakukan pendaratan di Ternate. Setelah menaklukkan Sorong pada 4 April. Selang beberapa hari kemudian, tepatnya 9 April, Jepang juga mendarat di Makassar, dan pada 22 April berhasil menduduki Jayapura.

Sejak mendaratnya tentara Jepang di Ternate dan daerah lainnya di Maluku Utara, penduduk di larang mendengar siaran radio, terutama siaran luar negri. Chasan Boesoirie dalam memoirnya menulis bahwa baru pada awal september 1945, berita proklamasi kemerdekaan Indonesia diketahui penduduk Kota Ternate dan daerah lainnya di Maluku Utara. Berbeda dengan Ternate, penduduk Morotai telah mengetahui proklamasi kemerdekaan Indonesia selang beberapa hari setelah diumumkan.

Karena situasi telah jelas, beberapa pemimpin lokal, seperti Arnold Mononutu, M.A. Kamaruddin, Chasan Boesoirie, M.S. Jahir, M. Arsyad Hanafi, Abubakar Bacmid dan tokoh pemuda Abjan Soleman di Ternate, mulai mendiskusikan bagaimana rakyat Maluku Utara mengantisipasi dan menindaklanjuti proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hi.Salahuddin dan beberapa pengikutnya di Sorong juga melakukan hal yang sama, Hal ini mesti dilakukan sehubungan dengan kenyataan bahwa di seluruh Maluku Utara Belanda secara pasti mulai mengembalikan kekuasaannya.

Dalam bulan November 1945, Sultan Ternate, Jabir Syah, secara pribadi mengadakan pembicaraan dengan Mononutu dan Boesoirie di istana Kesultanan Ternate. Pembicaraan tersebut berkaitan dengan langkah-langkah politik kongkret yang mesti dilakukan pada saat itu. Jabir Syah menganjurkan kedua tokoh itu membentuk sebuah partai bercorak Rijks Verband, dapat berkerja sama dengan pemerintah. Tetapi, Mononutu dan Boesoirie tidak memberi reaksi atas anjuran Jabir Syah.

Seperti halnya situasi Nasional Indonesia, wilayah Maluku Utara juga telah masuk Partai Nasional dan Organisasi reformasi dan moderenisasi yakni : PKI Cabang Ternate “Kamis 4 Mei 1921”, SI (SI Merah) “1925 di Ternate”, Muhammadiyah “Group” di Halmahera Utara Galela pada 17 September 1928, dan PNI “1929 di Ternate”.

Dan ada beberapa Oragnisasi yang di bentuk oleh toko lokal yaitu : Budi Mulia 1919 yang di dirikan oleh Hamid Assar (seorang pribumi ternate) dengan temannya Gondhojoewono (seorang Jawa asal Djogjakarta), Persatuan Indonesia disingkat (PI) partai politik usulan Sultan Jabir Syah kepada Mononuntu dan Boesoirie yang awalnya bercorak Rijks Verband”20 Desember 1945” ini kemudian dijadikan sebagai pendukung Republik Indonesia sebagai ketuanya di tunjuk Chasan Boesoeirie pada 9 April 1946 karena banyak pemuda-pemuda dan rakyat Maluku Utara menginginkan PI mendukung kemerdekaan RI dari Sabang Sampai Merauke, Sarikat Jamiatul Iman Wal Islam (SI) dirikan Hi.Salahuddin 1946 tujuannya : “Mempertahankan agama Islam dan NRI di bawah Bung Karno dan Bung Hatta yang baru saja diproklamasikan”, sementara itu, para royalis berhaluan Rijks Verband membentuk Partai Sedjarah Maloekoe Oetara (PASMO) di pimpin M.Nasir (Seorang saudara sultan Ternate).

Keliru Mengimplementasikan Sikap Revolusioner
Pada tahun 1927, Bung Karno melancarkan ajaran penggalangan semua kekuatan revolusioner (samenbundeling van alle revolutionaire krachten). Yang dimaksud “revolusioner” adalah sikap menentang imperialis, dan yang termasuk kekuatan revolusioner adalah orang Indonesia siapa saja yang sama-sama menjadi pejuang melawan kolonialisme Belanda.

Sebelum munculnya Bung Karno di gelanggang politik antikolonialisme, yang revolusioner baru kaum muslim-nasionalis dan muslim-komunis dari Serikat Islam Merah (SI). Sedang Budi Utomo, meskipun telah berdiri pada tahun 1908 tidaklah termasuk kekuatan revolusioner. Budi Utomo juga belum termasuk nasionalis karena dalam sejarahnya tidak pernah turut melawan kolonialisme Belanda.

Sejak Bung Karno mengajarkan doktrin penggalangan kekuatan revolusioner, maka wawasan nasionalisme revolusioner bertambah luas, yang tidak lagi terdiri kaum muslim nasionalis dan muslim komunis saja, melainkan mencakup pula kaum Katholik, Protestan, Hindu, Budha, Keturunan Cina, Belanda, Arab serta para pangeran anak-anak raja daerah, tentu saja semua itu yang turut dalam perjuangan menentang kolonialisme.

Yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah, dimanakah letak sikap nasionalisme revolusioner anti kolonialisme itu ? cukupkah kalau sesorang mengatakan dirinya nasionalis atau revolusioner, ia lalu suda dimasukkan dalam barisan revolusioner antikolonialisme ?. Terkadang, ada jarak antara pernyataan dan kenyataan, tetapi jarak ini akan mengecil atau menjadi tidak ada, jika ada peluang yang cukup untuk menyatunya pernyataan dan perbuatan.


Who is he Haji Salahuddin

(Gambar : By. Mr_C)

Haji Salahuddin Talabuddin atau yang lebih di kenal Hi.Salahuddin (selanjutnya di singgkat HS) dilahirkan di Desa Gemia Patani, pada tahun 1874. pada 1928 ia masuk SI Merah sebuah Organisasi berhaluan Komunis yang di bentuk di Ternate 1925 dengan pengikut yang cukup banyak. Ketika SI (Serikat Islam) yang di pimpin Haji Omar Said Tjokroaminoto pecah dan muncul SI Merah, kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat orang-orang PKI melakukan pemberontakan kepada Pemerintah Kolonial Belanda di Ternate pada bulan Desember 1925 HS lolos dari penangkapan pemerintah Belanda, yang tertangkap seperti Om Sau dan Bohang kemudian di asingkan ke Boven Digul di Papua. Pada 1938, ia HS bergabung dengan PSII dan duduk dalam kepengurusan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) bersama M. Arsyad Hanafi, M.S. Djahir, A.S. Bacmid dan lainnya.

Karena kegiatannya politiknya ia dipenjarakan di Nusakambangan, dan pada 1941 dipindahkan ke Digul. Oleh Jepang ia dibebaskan pada 1942 dan memilih untuk sementara waktu menetap di Sorong. Pada 1946, pindah ke kepulauan Gebe kemudian kembali ke kampung halaman di Patani. Di pulau Gebe, kawasan Halmahera Timur (sekarang Halmahera Tengah), inilah ia mendirikan sebuah Organisasi keagamaan Islam bernama Sarikat Jamiatul Iman wal Islam. Di kalangan pengikutnya, organisasi ini terkenal dengan nama Sarikat Islam (SI). Tujuannya : “Mempertahankan Agama Islam dan Negara Republik Indonesia di bawah Bung Karno dan Bung Hatta yang baru saja diproklamasikan”.

Tugas paling utama SI pada masa awal berdirinya adalah menyebarluaskan proklamasi RI. Hal ini dilakukan Haji Salahuddin sejak masi berada di kepulauwan Raja Ampat dan Sorong. Setelah SI terbentuk, ia mulai menyebarluaskan cita-cita proklamasi tersebut. Penduduk dari empat desa di pulau Gebe berbondong-bondong menjadi anggota SI. Kegiatan HS dan pengikut-pengikutnya itu dalam waktu singkat telah merambah ke Distrik Patani.

Pada bulan Desember 1946, rakyat Patani mengirim sebuah perutusan yang terdiri dari Imam, Sangaji (Kepala Distrik=Camat), Kepala Adat, Kapita Banemo dan beberapa tokoh masyarakat Patani terkemuka untuk bertemu dengan HS, sekaligus memboyongnya ke Patani. Setelah berlangsung pembicaraan yang serius dan alot (karena rakyat Gebe menolak perpindahan pusat pimpinan SI dari Gebe ke Patani), suatu kompromi akhirnya tercapai. Pimpinan SI asal Gebe akan meyertai Haji Salahuddin pindah ke patani atas tanggungan rakyat Patani. Di akhir bulan Desember 1946 itu juga HS dan tokoh-tokoh SI Gebe pindah ke Patani, sekaligus memindahkan Pimpinan Pusat SI dari Gebe ke Patani.

Hanya dalam waktu tiga minggu, seluruh rakyat Kecamatan Patani telah menjadi anggota SI, HS dan pimpinan inti SI bekerja keras untuk merekrut rakyat Patani. Rakyat Patani memberikan respon yang luar biasa. Tiap hari berdatangan utusan dari desa-desa yang melakukan bait dan menyatakan “Siap mati untuk Islam dan Republik Indonesia”. Bahkan, desa Siden Popo, yang seluruh penduduknya beragama Kristen, diawali dua kepala keluarga dalam SI. Mereka juga mengatakan siap mati untuk RI.

Jumlah anggota SI hingga akhir bulan Januari 1947 telah mencapai lebih dari 3.000 orang, baik laki-laki maupun perempuan, dari Distrik pulau Gebe dan Patani. Bahkan, anak-anak yang berangkat remaja ikut pula bergabung ke dalam SI. HS sangat sadar bahwa perjuangan SI yang dikaitkannya dengan RI dan fatwa-fatwanya yang mengaramkan rakyat bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda akan membawa resiko besar. Oleh sebeb itu, ia memerintahkan pengikutnya mempersenjatai diri, dan membentuk sayap militer yang dipimpin wakil ketua SI, Kadhi Patani Abdul Hadi, Abdul Hadi merekrut pandai besi yang ada di patani, dan dengan bekerja siang malam, sebanyak 600 senjata tradisional mulai dari pedang, parang, badik, tombak, hingga panah, siap digunakan. Anggota-anggota sayp militer HS terdiri dari laki-laki maupun perempuan yang dipersenjatai. Bahkan, anak-anak di atas 12 tahun juga dipersenjatai.

Sikap Nasionalis Revolusioner
Pemerintah Belanda dalam laporan situasinya di awal Februari 1947 menyebutkan gerakan Haji Salahuddin dengan SI-nya adalah sebuah gerakan keagamaan (Mesianisme) Islam yang fanatik. Sudut pandang pemerintah Belanda terfokus pada kharisma HS berikut ritus-ritus agama yang diajarkannya, yang menyimpang dari kebiasaan.

Dakwah-dakwah HS tentang Republik proklamasi yang baru berdiri, dan perlawanan SI terhadap para penentangnya, telah menyadarkan rakyat Haloiyutrewmahera Timur dan Papua Daratan, khususnya di Distrik Gebe, Patani, Raja Ampat, dan Sorong, membelah dan menyelamatkan RI adalah sebuah kemestian.

Ciri keagamaan Islam gerakan HS dengan SI-nya memperoleh porsi cukup penting dalam gerakan HS. Ketika mulai tiba di Gebe dan SI mulai di kembangkan, langkah pertama HS adalah membangun sebuah mesjid bernama “Nurul Iman”, yang menjadi markas gerakan SI. Seluruh gerakan HS dipusatkan di masjid ini. Hal serupa juga dilakukan, ketika Pimpinan Pusat SI dipindahkan ke Patani. Usai shalat 5 waktu, dilakukan kegiatan dakwah Islam dengan porsi politik yang terkadang menyita sebagian besar waktu.

HS juga mengajarkan berbagai ritual keagamaan seperti zikir dan doa yang dibaca secara bersama-sama. Tetapi, yang paling menarik dari gerakan HS adalah berzikir mengelilingi kota patani seusai shalat subuh. Lirik zikir itu, dalam bahasa Indonesia, berbunyi : “Amankan Islam, amankan Syariat Islam, amankan Republik Indonesia! Jangan takut mati dan luka, pintu syurga sudah terbuka!”.

Zikir dalam ritual agama Islam selalu diucapkan di dalam masjid, perumahan atau tempat terbuka lainnya sambil duduk. Dan semua zikir selalu diucapkan dalam bahas Arab yang berisikan Takbir, Tahmid, atau Tahlil kepada Allah SWT dan Salawat kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara zikir yang diajarkan Haji Salahuddin kepada pengikut-pengikutnya adalah dalam bahasa Indonesia dan dilakukan sambil berjalan mengelilingi Kota Patani. Zikir ini lebih menyerupai kidung perjuangan, ketimbang zikir untuk mendekatkan diri kepada khalik.

Di samping dakwah Islam, pada setiap kesempatan Haji Salahuddin selalu menjelaskan megnapa SI mendukung Negara RI di bawah Pimpinan Bung Karno dan Bung Hatta. Ia memfatwakan wajib hukumnya bagi orang Islam mendukung Negara Republik Indonesia dan haram hukumnya bekerjasama dengan pemerintah Kolonial Belanda. Kepada para pengikutnya, baik yang muslim maupun yang bukan, ia minta agar mereka tetap bersatu dan melakukan ketidak patuhan kepada pemerintah Belanda.

Hal yang patut dicatat adalah pernyataan HS kepada pengikutnya bahwa Halmahera Timur (Pulau Gebe dan Patani) adalah wilayah kekuasaan Republik Indonesia yang berpusat di Djogjakarta. Karena itu, sejak tiba di pulau Gebe, HS telah menyatakan bahwa rakyat Halmahera Timur dalah warga Negara RI, dan setiap perlawanan terhadap RI harus ditangkal dan dilawan. HS juga mengidentikkan perlawanan terhadap dirinya atau terhadap SI yang dipimpinya sebagai perlawanan menentang pemerintah RI.

Dalam implementasinya, gerakan HS mempunyai kutup yang dapat diidentifikasikan sebagai gerakan menentang Belanda yang diberi baju Islam. Cap yang diberikan pemerintah Belanda bahwa gerakan Haji Salahuddin adalah sebuah gerakan keagamaan sebenarnya bertujuan membentuk opini publik yang keliru dengan menyembunyikan segi-segi politik yang ingin dicapai gerakan HS melalui SI. HS sendiri telah menginsyafi akibat-akibat yang akan dihadapi oleh gerakannya. Karena itu, ia memberi perintah kepada pembantu-pembantunya untuk memproduksi senjata-senjata tradisional agar rakyat dapat mempersenjatai diri mereka menghadapi kemungkinan terburuk.


Penangkapan Haji Salahuddin dan Berakhirnya gerakan SI
Usaha Pertama

Pada 14 Februari 1947, sebuah peleton polisi dikirim HPB (Hoofd van Plaatselijk Bestuur = Kepalah pemerintahan setempat) Weda yang dijabat seorang Belanda ke Patani dengan sebuah landing boat. Jumlah anggota kesatuan polisi sebanyak 15 orang dipimpin seorang pembantu inspektur bernama Paparang. Tugas misi ini menangkap HS. Kapal yang membawa kesatuan polisi tersebut tiba di waktu malam dan menurunkan pasukannya beberapa kilometer dari Patani. Penduduk Patani tidak tahu bahwa ada pasukan polisi yang telah mendarat di unjung kampung mereka.

Di pagi buta usai shalat subuh, jemaah masjid mendengar bunyi rentetan tembakan senjata api. Pengikut HS berlari keluar dan mencoba melwan dengan senjata kelewang serta parang. Pertempuran yang tidak seimbang antara pengikut-pengikut HS dengan kesatuan polisi Belanda itu terhenti, ketika kaum perempuan Patani yang berjumlah kurang lebih 600 orang menyerbu pasukan polisi dengan pedang terhunus dan parang. Karena perempuan menyerbu demikian banyak jumlahnya, pasukan polisi itu mundur. Perempuan-perempuan Patani itu terus memburu mereka sehingga pasukan polisi lari terbirit-birit naik ke kapalnya, dan meninggalkan pantai Patani. Di antara perempuan yang ikut menyerbu polisi Belanda tersebut, terdapat Hajjah Aisah, ibunda dokter Abdul Gafur (mantan menteri Pemuda dan Olahraga semasa pemerintahan Presiden Soeharto). Korban pertempuran tersebut 11 orang tewas dan 8 orang luka berat.

Upaya HPB Weda menangkap HS menemui kegagalan padahal HS dan pimpinan SI lainnya berada dalam masjid tidak jauh dari medan pertempuran. Kegagalan penangkapan HS disebabkan perempuan Patani masuk ke dalam kancah pertempuran. Menurut rakyat Patani, peristiwa itu membuktikan perempuan jauh lebih berani dari pada laki-laki.

Setelah polisi Belanda angkat kaki dari Patani, HS memerintahkan para pengikutnya tetap menyandang senjata untuk mengantisipasi kemungkinan yang lebih buruk. HS juga memberitahukan pengikutnya bahwa serangan berikutnya yang jauh lebih besar tinggal menunggu waktu. Dan waktu yang dinantikan itupun tiba.

Usaha Penangkapan kedua Belanda Menggandeng Sultan
Pada 17 Februari 1947, jam 16.00 WIT, kapal KM Tidor lego jangkar di pelabuhan Patani. Dua orang berpakaian adat segera mendarat dan menemui Haji Salahuddin di masjid dan menyampaikan pesan : Sultan Ternate M. Jabir Syah ingin bertemu anda. HS merasa memperoleh kehormatan besar dan menyatakan kesediannya. Jam 16.30 Sultan Ternate mendarat dan langsung menuju masjid dan di iringi Hulptroepen (pembantu tentara) dalam jumlah besar. Ketika pembantu-pembantunya mengkonfirmasikan bahwa Sultan disertai sejumlah pasukan tentara, HS memerintahkan agar mereka duduk di sepanjang jalan menuju masjid dan menjadikan senjata mereka sebagai alas tempat duduk. Tidak boleh ada kericuhan atau tindakan kekerasan apapun, demi penghormatan mereka kepada sultan. Dengan menggunakan jubah warna jingga, HS dan pembantu-pebantunya menerima Sultan di teras depan masjid. Setelah bersalaman, terjadi dialog singkat :

Haji Salahuddin : “Apa maksud kedatangan Yang Mulia ?”
Sultan M. Jabir Syah : “Saya datang untuk menjemput dan membawa anda ke Ternate. Kita berangkat sekarang juga, karena Sultan Tidore tengah menunggu Anda di Ternate!”

Dengan menggandeng tangan Haji Salahuddin, Sultan dan pasukan Hulptroepen segera meninggalkan mesjid. HS sempat berbicara kepada pengikutnya agar mereka tetap tenang dan menjaga keamanan, sembari meneriakan “Hidup Islam, hidup SI, hidup Republik Indonesia!!”.

Sultan Ternate berseru kepada pengikut Haji Salahuddin agar menyerahkan senjata mereka untuk dikumpulkan. Hulptroepen mengumpulkan senjata pengikut HS dan menaikkan ke atas kapal. Sebanyak 2.000 senjata rakitan dan berbagai jenis parang serta kelewang berhasil disita dan dinaikkan ke kapal. Sebanyak 200 orang pengikut Haji Salahuddin, baik laki-laki maupun perempuan, terutama anggota-anggota dan pimpinan sayap militernya, dengan paksa dinaikkan ke kapal. Ketika bedug mesjid ditabuh dan azan magrib dikumandangkan pada jam 18.30 WIT, KM Tidor angkat sauh dan pimpinan SI segera diborgol, sementara anggota sayap militer dan para pengikut lainnya diikat tangannya dengan satu tali. Pada pagi hari 19 Februari 1947, KM Tidor merapat di dermaga Ternate, dan para tahanan diturunkan kemudian dijebloskan ke rumah tahanan (penjara).

Sejak penangkapan Haji Salahuddin dan pimpinan SI lainnya, keinginan organisasi ini praktis berakhir. Tidak ada lagi dakwah seusai shalat, dan zikir keliling kota Patani setiap lepas shalat subuh tidak lagi terdengar. Rakyat Patani dan Gebe seperti anak ayam kehilangan induk, dan mereka hanya pasrah menanti kabar bagaimana nasib HS dan para pemimpin SI lainnya. Dari kawan-kawan mereka yang pulang kampung, mereka memperoleh informasi bahwa Haji Salahuddin dan enam pimpinan teras SI telah di jadikan terdakwa.

Proses Persidangan Haji Salahuddin
Pada bulan Juli 1947, dimulailah proses persidangan pengadilan Negri Ternate yang dilangsungkan di Tidore. Untuk daerah Maluku Utara, hanya terdapat satu pengadilan Negri (Landraad) yang berkedudukan di ternate. Duduk sebagai terdakwa Haji Salahuddin dan enam pimpinan SI yang memimpin sayap militer, mereka dituduh secara bersama-sama menghasut rakyat melakukan makar, serta secara tanpa hak ingin merobohkan kekuasan dan pemerintahan yang sah dan menggantinya dengan Pemerintahan Republik Indonesia.

Pada 13 September 1947 HS dan keenam pemimpin lainnya dinyatakan bersalah dan dijatuhkan hukuman. Haji Salahuddin dihukum mati, Khadi Abdul Hadi dihukum 12 tahun penjara, sementara kelima pimpinan sayap militer lainnya masing-masing dihukum dari 6 hingga 9 tahun penjara. Kadhi Abdul Hadi menjalani hukumannya di penjara Nusakambangan, sementara terhukum lainnya menjalani hukuman mereka di penjara Manado dan Ambon.

Pledoi Lantang dan Eksekusi Sang Pahlawan HS
Dalam pidato pembelaannya (pledoi) di depan sidang pengadilan, Haji Salahuddin menyampaikan pledoinya (tanpa teks), yang pokok-pokoknya dapat disarikan sebagai berikut :

1. Pemeriksaan dirinya oleh pengadilan Negri Ternate di Tidore tidak sah, sebab pengadilan ini sebuah pengadilan Kolonial. Hanya pengadilan Republik Indonesia yang berwenang memeriksa dan menyatakan dirinya dan semua kawan-kawannya bersalah atau tidak.

2. Haji salahuddin mengakui telah mengeksekusi 8 orang termasuk seorang kepala Distrik Gebe, karena mereka telah berkhianat dan bekerja untuk musuh Republik Indonesia. Tidakan ini dilakukan untuk dan atas nama Pemerintahan RI. Kawasan Halmahera Timur adalah wilayah kedaulatan RI, dan dia bertindak sebagai pemegang kekuasaan darurat, selama Pemerintah Pusat Republik Indonesia belum menetapkan lain dan mencabut mandatnya.

3. Kerjasama Kesultanan Ternate dan Tidore dengan Pemerintah penduduk Belanda tidak sah, karena bertentangan dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. Itu Sebabnya, ia memerintahkan rakyat tidak patuh kepada kedua Kesultanan tersebut. Hanya Pemerintahan Republik Indonesia yang harus dipatuhi, tidak kepada yang lain.

4. Menyelamatkan Republik Indonesia berarti menyelamatkan Islam. Mengkhianati Republik Indonesia berarti mengkhianati Islam.

Atas keputusan Pengadilan Negeri yang menjatuhkan hukuman mati, Haji Salahuddin tidak mengajukan banding maupun kasasi. Menurut HS, pengadilan banding dan kasasi semacam itu tidak sah dan sama saja. Kejaksaan akhirnya mengajukan grasi demi hukum, karena peraturan yang berlaku ketika itu menetapkan suatu putusan hukuman mati tidak dapat dieksekusi tanpa grasi Gubernur Jendral Hindia Belanda.

Pada 6 Juni 1948, kejaksaan Ternate mengeksekusi putusan Pengadilan Negeri, setelah Letnan Gubernur Jemdral Van Mook menolak permohonan grasi Haji Salahuddin yang diajukan kejaksaan. Haji Salahuddin dibawa ke lapangan tembak militer di Skep Ternate, dan tepat jam 06.00 WIT Haji Salahuddin dieksekusi di depan regu tembak. Jasad Almarhum kemudian dimakamkan di perkuburan Islam Ternate

Makam Hi.Salahuddin
Gambar : Dok. Pribadi Mr_C


Karamah Wali Allah Haji Salahuddin
Haji Salahuddin seorang pemipmpin karismatik dan sangat berwibawa. Para pengikutnya percaya bahwa ia mempunyai indera keenam. “Ketika kapal KM Tidor yang membawanya ke Ternate angkat sauh dari pelabuhan Patani, selama 30 menit jangkar kapal itu katut dan tidak mau terangkat. Haji Salahuddin minta kepada Sultan agar borgolnya dilepaskan sementara waktu, dan begitu borgolnya lepas, kapal Tidor dengan mulus mengangkat sauhnya”.

Ketika peleton Polisi Belanda telah melarikan diri dari Patani karena serbuan kaum perempuan, Haji Salahuddin menyatakan kepada pengikutnya suatu pasukan militer Belanda yang lebih besar akan tiba di Patani. Hanya 2 hari setelah ucapannya itu, KM Tidor dan Sultan Ternate tiba dengan membawa dua kompi pasukan Hulptroepen dari Morotai. Menjelang eksekusinya dia pernah menyatakan kepada salah seorang keluarganya yang menjenguk untuk kali terakhir, bahwa bersama dia akan pergi besok pagi menghadap Allah seorang besar dari kerajaan Tidore. Keesokan harinya permaisuri Sultan Zainal Abidin wafat bersamaan waktu dengan eksekusi atas dirinya.

Haji Salahuddin saat di Lapangan tembak, dieksekusi oleh regu tembak dengan tujuh butir peluruh namun rohnya belum memisahkan diri dari jasadnya, sehingga HS meminta satu peluru terakhir, dan pada selongsong peluru kedelapan barulah Haji Salahuddin wafat.



Mr_chulleyevo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PULAU IMAM (Chulleyevo Island)

Pulau Imam sebuah nama yang begitu unik untuk sebuah pulau, untuk pembaca yang berasal dari kab.halmahera tengah khususnya kota weda pulau imam sudah tak asing lagi di dengar. Namun terasa asing di dengar oleh orang di luar penduduk kab.halmahera tengah, ya... begitulah karena pulau ini tak setenar banda naira ataupun pulau-pulau lain di indonesia. Photo : Pulau Imam Kanan dan Pulau Yefi Kiri Pulau imam atau biasa di sebut dengan chulleyevo oleh masyarakat lokal. pulau imam merupakan sebuah gugusan kecil di depan dermaga penyebrangan kota weda, berjarak sekitar 500 meter dari kota weda ibu kota kab.halmahera tengah, provinsi maluku utara. Karena letaknya yang berada persis di depan pelabuhan kota weda, pulau yang satu ini ketika dilihat dari kota weda nampak cantik, tidak heran jika pulau imam menjadi titik perhatian wisatawan dan pendatang dari luar kota weda, yang sering mengabadikan kecantikannya dengan berfoto menjadikan pulai ini sebagai backgroundnya. Sebagian besar pulau...

TRADISI MAULID NABI NEGERI FAGOGORU

(Photo : By.DinexMotret) Nabi Muhammad SAW Lahir di Al-Mukkaramah atau Al-Amin (sekarang Mekkah) 12 Rabiul awal Thn gajah atau bertepatan dengan hari Senin 20 April 571 M. Untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (HR, Bukhari) Tradisi memperingati kelahiran Nabi pada tanggal 12 Rabiul awal atau sejarah Maulid Nabi pertama kali terjadi setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Peringatan tersebut pertama kali diadakan oleh Raja Al-Muzhaffar Abu Sa'id Kukbury Ibn Zainuddin Ali Ibn Baktakin (Wafat 630 H) Raja Irbil yang berada di kawasan Urk (Irak Sekarang) pada abad ke 7 Hijriah ("Sumber:Imam As-Suyuthi dlm kitab:Al-Hawy Li Al-Fatawy juz 1, hal 272"). Beliau mengundang seluruh rakyat dan ulama untuk berkumpul merayakan hari besar tersebut dengan menyembelih ribuan kambing dan unta. Para kaum ulama yang alim dan memiliki keluasan ilmu pun membenarkan kegiatan tersebut karena menganggap hal tersebut adalah hal yang baik. Kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah cahaya Islam yang mener...