Genap 14 hari sudah, saya melakukan swakarantina mandiri di rumah atau lebih tepatnya di kamar kos-kosan yang saya tempati ketika menjadi orang tanpa gejala (OTG) Kota Weda. Sebagaimana arahan pemerintah untuk karantina mandiri selama 14 hari terlebih dahulu kepada masyarakat yang bepergian atau kembali ke kampung halaman sebelum melakukan aktifitas keseharian seperti biasa, itu menjadi pilihan karena Halmahera Tengah belum memiliki tempat karantina untuk masyarakatnya yang datang dari luar daerah. Awalnya mendengar bahaya pandemi ini saya tak ingin kembali ke kampung halaman, karena perasaan takut membawa virus yang nantinya membahayakan orang tercinta di kampung. Namun karena aktivitas kampus dialihkan ke ruang kelas online dan kebetulan saya juga sedang dalam tahapan penelitian, momen ini terpaksa saya manfaatkan untuk kembali ke kampung halaman.
Baru satu hari berjalan saya merasa sangat rindu pada hal-hal sederhana yang selalu saya lakukan saat pulang ke kampung halaman. Terutama saat turun dari mobil, kemudian mencium telapak tangan kedua orang tua dan memeluk mereka, terutama nenek yang telah merawat saya dari balita hingga kini sudah sedikit pandai menggiring berita. saya harus menahan diri tidak tinggal di rumah bersama dengannya sebelum selesai melewati masa karantina ini.
Di saat malam tiba rindu itu semakin sesak, biasanya banyak teman-teman berkumpul ke rumah, ngobrol santuy sampai ke hal-hal yang membuat saya harus berpikir keras, kini sirna tinggal kenangan hanya untuk satu harapan, terputusnya rantai penyebaran covid-19. Dari kebiasaan sederhana dan rasa penasaran yang kuat melahirkan rasa bosan di malam-malam kelam, suara burung penghuni hutan fidi Halmahera semakin membuat imajinasi saya tak karuan penasaran atas segala problem daerah yang muncul di sosmed beberapa bulan terakhir semenjak masih di manado. Pelarian rindu, sudah saya lakukan dengan membaca tapi kayaknya rindu akibat swakarantina ini lebih Tepat jika saya tuangkan dalam bentuk tulisan.
Dalam sanubari saya, masih ada yang belum terungkap, ketika saya belum mengetahui realita sebenarnya yang terjadi pada masyarakat atau generasi muda di setiap percakapan mereka saat nongkrong bersama. Untungnya kosan "Doa Ibu" tempat untuk saya swakarantina ini letaknya cukup strategis, walaupun tidak berada di pusat kota melainkan di kilometer 3 atau masyarakat lokal biasa menyebutnya "kilo 3". Tempat ini bisa dibilang perempatan industri, karena dilalui karyawan-karyawan tambang dari kota weda menuju perusahan besar di Halmahera Tengah PT. Indonesia Wedabay Industri Park "IWIP". saya biasa disinggahi teman-teman dan kerabat yang mulai menjadi karyawan pertambangan, dari mereka saya menggali informasi mengenai gonjang-ganjing di tengah masyarakat sampai senang dan pilu mereka di saat menjadi karyawan pertambangan.
Saat mereka pulang dari kerja obrolan selalu kami lanjutkan, sebab saya sengaja minta tolong dibawakan masker khas pertambangan 3M 9501V+, agar setidaknya kami bisa bercerita bersama, walaupun saya tau raga mereka sudah cukup lelah dan cepat-cepat ingin kembali ke peraduan. Ketika mendengar senang dan pilu mereka, ada satu hal yang menarik perhatian, dimana dalam pertambangan pencegahan penyebaran wabah cukup ketat, hal ini saya simpulkan karena apapun sakit yang dikeluhkan karyawan, karyawan tersebut langsung di karantina di ruangan medis.
Dua kali suda saya bertemu dengan hari jum'at, dimana bagi umat Islam ini adalah hari raya kecil dalam setiap bulan yang berjalan. Sebagai seorang lelaki, saya tak ingin ketinggalan sholat berjamaah, maka di hari jumat saya memaksakan sholat berjamaah di masjid tua kota weda karena masjid ini adalah satu bagian dari kerinduan saya. Tetapi dengan tetap memakai masker dan mencoba menjaga jarak.
Semenjak dari jumat itu saya terkejut, bagaimana tidak. Di saat pemerintah kelihatan cukup fokus memutus rantai penyebaran covid-19, hingga sosial media cukup update menyajikan bahaya dan pencegahan wabah ini. Pada realitanya, sangat sering saya temui masyarakat maupun mahasiswa yang dikenal memiliki tingkat kesadaran di atas rata-rata masyarakat pada umumnya itu, saling berinteraksi dan nongkrong tanpa mengenakan masker dan tidak memperhatikan Physical distancing (jaga jarak/jaga jarak aman).
Padahal kebiasaan seperti itu cukup berbahaya di tengah pandemi covid-19, korban berjatuhan akibat corona cukup banyak di berbagai negara, salah satu pemicunya adalah kebiasaan masyarakat yang menganggap remeh himbauan menggunakan masker dan jaga jarak. Pada dasarnya wabah ini bisa ditangani rumah sakit dan tim medis, namun karena banyaknya pasien yang positif corona membuat rumah sakit dan tim medis kewalahan sehingga banyak korban yang berjatuhan.
Kabupaten Halmahera Tengah cukup bersyukur karena belum ada masyarakat yang positif covid-19 tidak seperti kota Ternate, Tidore dan kabupaten Halmahera Utara . Namun ikhtiar itu perlu, mengingat pembangunan infrastrukturnya masih seumur jagung, artinya belum merata ke 10 kecamatan yang ada. Ditambah lagi minimnya tenaga medis di karenakan berbagai persoalan dan sebagian sarjana keperawatan lebih memilih menjadi karyawan tambang. Hal ini menjadi ancaman serius dalam masa pandemi covid-19, bagaimana tidak, melihat minimnya peralatan medis, belum meratanya fasilitas kesehatan, apa jadinya jika pasien positif di Halteng melebihi angka 50 orang lebih pasti banyak pasien yang tak bisa disembuhkan dan sebagian besar pasti bertumbangan hilang nyawa.
Walaupun tim satgas covid-19 sudah terbentuk di halteng, dengan pola strategi pembatasan jam malam. Masyarakat masih terlihat belum memahami ancaman yang dihadapi. Apalagi telah diperkirakan puncak pandemi di Maluku Utara bakal terjadi pada pertengahan bulan Juni mendatang. Hal ini harus sesegera mungkin diantisipasi oleh pemerintah daerah, satgas covid-19 dengan melibatkan masyarakat pada umumnya. Karena dengan kesadaran dan kebersamaan InsyaAllah Halmahera Tengah mampu melewati pandemi ini dengan tidak satupun masyarakatnya yang positif, agar semua warga dapat menjalankan bulan suci ramadhan lebih khusyuk dengan penuh hikmah.
Pemerintah sudah seharusnya memperbanyak pos-pos pendeteksi dini virus covid-19, penyediaan tempat karantina untuk masyarakat dari luar daerah guna memaksimalkan pemantauan "OTG-ODP" di arus mudik kali ini. Edukasi sosialisasi dan pengawasan jam malam oleh tim Satgas covid-19 yang cukup intens pada malam hari, terasa kurang efektif dalam membatasi penyebaran virus ini, apabila di siang hari aktivitas sosial masyarakat, masih cenderung tidak memakai masker dan menjaga jarak aman, maka perlu satu formulasi dari tim satgas Halmahera Tengah untuk pra kondisi penyebaran virus di siang hari. Semisal beberapa kota yang menerapkan kerja sama dengan pihak kepolisian untuk melakukan penilangan di siang hari terhadap pengendara yang tidak menggunakan masker, namun hal ini patut diperhatikan pemerintah daerah terlebih dahulu, apa gerangan sampai masyarakatnya sangat jarang memakai masker saat melakukan aktivitas keseharian mereka.
Di situasi genting seperti ini, penerapan sosial distancing (tindakan menjauhi segala bentuk perkumpulan dan menghindari pertemuan yang melibatkan banyak orang)jangan disepelekan. Semenjak dilantiknya Drs. Edi Langkara, MH dan Abd. Rahim Odeyani, SH. MH (Elang-Rahim) dalam periode awal ini memang cukup diuji dengan berbagai permasalahan, nawaitu yang mulia dengan spirit pembangunan berfrasa Fagogoru tak mudah untuk dicapai tanpa ada rintangan dan halangan. strategi pembangunan ekonomi dengan cara menciptakan iklim investasi yang bersahabat di Halmahera Tengah misalnya, sampai pandemi ini menyerang pertambangan masih saja menjadi isu hangat setelah kebijakan-kebijakan yang tak bersahabat mencuat ke publik. paling terbaru curahan hati seorang karyawan pertambangan dan aksi protes tenaga kerja asing asal cina yang menuntut hak-hak mereka dari PT.IWIP, hal ini cukup menyayat hati ketika melihat pilu mereka para karyawan tambang di tengah pandemi ini. Tantangan yang dihadapi Elang-Rahim semakin menarik, karena di situasi seperti inilah seorang pemimpin menunjukan kepribadian mereka seutuhnya. Oleh karena itu, yang terpenting saat ini bagaimana kedua tokoh tersebut mengimplementasikan falsafah Fagogoru sehingga terciptanyan masyarakat adil dan makmur yang berlandaskan ngakurasai, budi bahasa, sopan serta takut dan malu tidak hanya sekedar konsep yang terukir indah dalam dua jilid buku yang diterbitkan. Agar sikap seperti itu juga bisa menghindari perkumpulan yang melibatkan banyak mahasiswa harus turun ke jalan akibat percikan yang sudah terjadi antara PT.IWIP dan Mahasiswa semenjak pertambangan ini beroperasi, sebab ketika itu terjadi maka sosial distancing dan nyawa adalah taruhannya.
Kondisi pandemi yang belum mencapai puncaknya ini, sudah seharusnya menimbulkan kesadaran terhadap orang-orang yang berpikir. kemana lagi masyarakat dan karyawan pertambangan harus menaruh harapan, jika 20 anggota DPRD sebagai representasi masyarakat di parlemen, hanya satu dua orang saja yang merasakan penderitaan itu, berbagai serikat buruh yang ada serasah berselisih antara satu dengan yang lainnya. sebagian mahasiswa asik liburan ke berbagai pulau seakan melupakan eksistensinya sebagai masyarakat yang memiliki pengetahuan di atas rata-rata. Di seluruh dunia, masyarakat bekerja sama demi kesehatan dan kesejahteraan. Setiap orang diminta untuk berkorban demi kebaikan umum. Namun dalam pengorbanan itu, kita perlu memastikan jangan sampai beban terbesar justru ditanggung oleh mereka yang paling rentan, atau kita membiarkan orang kelaparan.
Goyeng cafe Bacalepo, 22 April 2020
Mr_Chulleyevo
Komentar
Posting Komentar